NB : TULISAN INI MERUPAKN TULISAN ASLI PENULIS HUKUM-DAN-LAINNYA.BLOGSPOT.COM , DIMANA TULISAN INI MERUPAKAN HASIL DARI TUGAS YANG DIBUAT PENULIS DALAM PERKULIAHAN PENOLOGI, DAN APABILA ADA YANG INGIN MENGGANDAKAN TULISAN INI HARAP DICANTUMKAN ALAMAT BLOGSPOT INI. TERIMAKASI.
Hak-Hak Dari Terpidana Dan Hak-Hak Terpidana Yang Sering Direnggut
Dalam proses pembinaan narapidana di
lembaga pemasyarakatan tetaplah terdapat hak dan kewajiban yang harus dilakukan
dan didapatkan oleh seorang narapidana. Namun terkadang kedua hal tersebut
tidak berjalan secara bersamaan. Dimana terkadang para narapidana sering hanya
melakukan kewajiban tanpa diperhatikannya hak mereka sebagai manusia(sering
disebut perampasan hak narapidana), dimana menurut Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan, hak-hak terpidana adalah :
a. melakukan
ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan
rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan
pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran
media massa lainnya yang tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas
pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat
hukum, atau orang tertentu lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa
pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan
berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. mendapatkan cuti
menjelang bebas; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Salah satu hak yang dimiliki
narapidana yang sering tidak didapatkan terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) huruf d UU Pemasyarakatan, yakni mendapatkan
pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) PP 32/1999, setiap narapidana berhak mendapatkan
makanan dan minuman sesuai dengan jumlah kalori yang memenuhi syarat kesehatan.
Dalam hal pelayanan kesehatan tersebut,
para napi sering tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang sesuai,
dimana seperti yang dikutip dari hukum.kompasiana.com mengenai 4 alasan
ricuhnya atau timbulnya masalah di lapas, diterangkan bahwa dengan penghuni
yang melebihi kemampuan lapas, akibat selanjutnya adalah fasilitas dan
pelayanan lapas menjadi tidak optimal. Fasilitas dasar seperti air, listrik,
hingga makanan menjadi pemicu kerusuhan. Hal itulah yang menjadi pemicu ketika
pada 11 Juli 2013, ribuan napi di Lapas Tanjung Gusta mengamuk. Ketika itu,
listrik padam sehingga air di lapas tidak ada. Para napi yang hendak mandi dan
beribadah kesulitan. Mereka menuangkan kekecewaan mereka dengan cara membuat
kerusuhan.[1]
Selain mengenai masalah pelayanan kesehatan,
satu hal lagi hak yang sering direnggut oleh napi adalah mengenai fasilitas
serta kapasitas ruang tahanan. Dimana dikutip dari kompasiana, sindonews dan
suarapembaruan.com, hal yang sering menyebabkan kericuhan di LP adalah karena
para narapidana sering mengeluh mengenai ruang tahanan mereka yang sudah sempit
dan tidak ada tempat untuk beristirahat. Seperti yang terjadi di Jambi, dimana
Lembaga pemasyarakatan (LP) Kelas II Kota Jambi semakin tidak layak dijadikan
tempat pembinaan narapidana (napi) karena LP tersebut sudah melebihi daya
tampung. Jumlah napi yang menjalani masa tahanan di LP tersebut saat ini
mencapai 2.242 orang. Sedangkan daya tampung LP itu hanya 1.367 orang. Jadi
jumlah penghuni LP Kelas II Jambi sudah lebih 1.057 orang.[2]
Hal ini juga terjadi di Rutan
Salemba Jakarta yang berkapasitas 1.500 dihuni 3.500 napi dan tahanan.
Sementara Lapas Cipinang yang berkapasitas 880 napi dihuni 2.900 napi. Rata-rata,
lapas di Indonesia dihuni para napi dan tahanan yang berjumlah tiga hingga
empat kali lipat dari kapasitas awal. Di Lapas Labuhan Ruku misalnya, Kasubdit
Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Akbar Hadi
mengatakan, persentase kelebihan kapasitas napi di lapas itu mencapai 400
persen.[3]
Dua hal
tersebut sering memicu terjadinya kericuhan oleh para napi yang kecewa akan
pelayanan di lembaga pemasyarakatan, dimana sebagai manusia, para narapidana
jugalah memiliki hak-hak yang tidak boleh direnggut dan hak tersebut sebenarnya
telah dilindungi sesuai dengan pasal 14 ayat 1 UU Permasyarakatan, sehingga
terenggutnya hak mereka merupakan salah satu alasan yang sering menyebabkan
ricuhnya atau pemberontakan oleh para narapidana di LP, seperti yang terjadi di
Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) Tanjung Gusta (Juli 2013) dan Lapas Hulubatu (Agustus
2013). Kejadian itu hanya berselang satu bulan dan kerugian pasti lebih dari
satu miliar rupiah. Belum lagi korban-korban dan napi yang melarikan diri,
sampai saat ini tidak ada keterangan resmi pemerintah, Kemenhukham, tentang
kerugian negara akibat peristiwa tersebut.
[1]
Kompasiana, http://hukum.kompasiana.com/2013/08/25/4-alasan-klasik-sumber-penyakit-menular-rusuh-lapas-583960.html, terakhir diakses pada tanggal 17
Desember 2013,pukul : 23.18
[2]
Suarapembaruan, http://www.suarapembaruan.com/home/melebihi-daya-tampung-lp-jambi-semakin-tak-layak/19056,
terakhir diakses pada tanggal 17 Desember 2013,pukul : 23.18
[3]
Kompasiana, loc.cit.
wahh makasih informasinya ya. nice artikel. kebetulan saya sedang belajar tentang hukum dan menemukan postingan ini. sangat bermanfaat sekali
BalasHapus