Criminalis aborsi atau Abortus
telah dilakukan oleh manusia selama berabad-abad, tetapi selama itu belum ada
undang-undang yang mengatur mengenai tindakan abortus. Peraturan mengenai hal
ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 4 M di mana telah ada larangan untuk
melakukan abortus. Sejak itu maka undang-undang mengenai abortus terus
mengalami perbaikan, apalagi dalam tahun-tahun terakhir ini di mana mulai
timbul suatu revolusi dalam sikap masyarakat dan pemerintah di berbagai negara
di dunia terhadap tindakan abortus. Hukum abortus di berbagai negara dapat
digolongkan dalam beberapa kategori sebagai berikut:
• Hukum yang tanpa pengecualian melarang
abortus, seperti di Belanda.
• Hukum yang memperbolehkan abortus demi
keselamatan kehidupan penderita (ibu), seperti di Perancis dan Pakistan.
• Hukum yang memperbolehkan abortus atas
indikasi medik, seperti di Kanada, Muangthai dan Swiss.
• Hukum yang memperbolehkan abortus atas
indikasi sosio-medik, seperti di Eslandia, Swedia, Inggris, Scandinavia, dan
India.
• Hukum yang memperbolehkan abortus atas
indikasi sosial, seperti di Jepang, Polandia, dan Yugoslavia.
• Hukum yang memperbolehkan abortus atas
permintaan tanpa memperhatikan indikasi-indikasi lainnya (Abortion on requst
atau Abortion on demand), seperti di Bulgaris, Hongaria, USSR, Singapura.
• Hukum yang memperbolehkan abortus atas
indikasi eugenistis (aborsi boleh dilakukan bila fetus yang akan lahir menderita
cacat yang serius) misalnya di India
• Hukum yang memperbolehkan aborsi atas
indikasi humanitarian (misalnya bila hamil akibat perkosaan) seperti di Jepang
Negara-negara yang mengadakan perubahan dalam
hukum abortus pada umumnya mengemukakan salah satu alasan/tujuan seperti yang
tersebut di bawah ini:
• Untuk memberikan perlindungan hukum pada
para medisi yang melakukan abortus atas indikasi medik.
• Untuk mencegah atau mengurangi terjadinya
abortus provocatus criminalis.
• Untuk mengendalikan laju pertambahan
penduduk.
• Untuk melindungi hal wanita dalam
menentukan sendiri nasib kandungannnya.
• Untuk memenuhi desakan masyarakat.
Di
Indonesia, baik menurut pandangan agama, Undang-Undang Negara, maupun Etik
Kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan
pengguguran kandungan (abortus provokatus). Bahkan sejak awal seseorang yang
akan menjalani profesi dokter secara resmi disumpah dengan Sumpah Dokter
Indonesia yang didasarkan atas Deklarasi Jenewa yang isinya menyempurnakan Sumpah
Hippokrates, di mana ia akan menyatakan diri untuk menghormati setiap hidup
insani mulai dari saat pembuahan.
Dari aspek etika, Ikatan Dokter Indonesia
telah merumuskannya dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia mengenai kewajiban
umum, pasal
7d: Setiap dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Pada
pelaksanaannya, apabila ada dokter yang melakukan pelanggaran, maka penegakan
implementasi etik akan dilakukan secara berjenjang dimulai dari panitia etik di
masing-masing RS hingga Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK). Sanksi
tertinggi dari pelanggaran etik ini berupa "pengucilan" anggota dari
profesi tersebut dari kelompoknya. Sanksi administratif tertinggi adalah
pemecatan anggota profesi dari komunitasnya.
Ditinjau dari aspek hukum,
pelarangan abortus justru tidak bersifat mutlak. Abortus buatan atau abortus
provokatus dapat digolongkan ke dalam dua golongan yakni: 1. Abortus buatan
legal Yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat dan cara-cara yang
dibenarkan oleh undang-undang. Populer juga disebut dengan abortus provocatus
therapeticus, karena alasan yang sangat mendasar untuk melakukannya adalah
untuk menyelamatkan nyawa ibu. Abortus atas indikasi medik ini diatur dalam
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan:
PASAL 15: 1) Dalam keadaan
darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya,
dapat dilakukan tindakan medis tertentu. 2) Tindakan medis tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat(1) hanya dapat dilakukan: a. Berdasarkan indikasi medis
yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut; b. Oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan
tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli; c. Dengan
persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya; d. Pada
sarana kesehatan tertentu. 3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis
tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pada penjelasan UU no 23
tahun 1992 pasal 15 dinyatakan sebagai berikut: Ayat (1) : Tindakan medis dalam
bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun, dilarang karena bertentangan
dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan. Namun
dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu atau janin
yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu Ayat (2) Butir a :
Indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan
medis tertentu sebab tanpa tindakan medis tertentu itu,ibu hamil dan janinnya
terancam bahaya maut. Butir b : Tenaga kesehatan yang dapat melakukan
tindakan medis tertentu adalah tenaga yang memiliki keahlian dan wewenang untuk
melakukannya yaitu seorang dokter ahli kandungan seorang dokter ahli kebidanan
dan penyakit kandungan. Butir c : Hak utama untuk memberikan persetujuan
ada ibu hamil yang bersangkutan kecuali dalam keadaan tidak sadar atau tidak
dapat memberikan persetujuannya ,dapat diminta dari semua atau keluarganya.
Butir d : Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki
tenaga dan peralatan yang memadai untuk tindakan tersebut dan ditunjuk oleh
pemerintah. Ayat (3) : Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanan dari pasal
ini dijabarkan antara lain mengenal keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa
ibu hamil atau janinnya,tenaga kesehatan mempunyai keahlian dan wewenang bentuk
persetujuan, sarana kesehatan yang ditunjuk. 2. Abortus Provocatus Criminalis (
Abortus buatan illegal ) Yaitu pengguguran kandungan yang tujuannya selain
untuk menyelamatkan atau menyembuhkan si ibu, dilakukan oleh tenaga yang tidak
kompeten serta tidak memenuhi syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh
undang-undang. Abortus golongan ini sering juga disebut dengan abortus
provocatus criminalis karena di dalamnya mengandung unsur kriminal atau
kejahatan. Beberapa pasal yang mengatur abortus provocatus dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP):
PASAL 299 1) Barang siapa
dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan
diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya
dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau
denda paling banyak empat pulu ribu rupiah. 2) Jika yang bersalah, berbuat
demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai
pencaharian atau kebiasaan atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat,
pidananya dapat ditambah sepertiga. 3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan
tersebut dalam menjalankan pencaharian, maka dapat dicabut haknya untuk
melakukan pencaharian.
PASAL 346 Seorang wanita
yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain
untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
PASAL 347 1) Barang siapa
dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa
persetujuan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. 2) Jika
perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
PASAL 348 1) Barang siapa
dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seseorang wanita dengan
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan. 2) Jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya wanita tersebut,
dikarenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
PASAL 349 Jika seorang
dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal
346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan
dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat
ditambah dengn sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian
dalam mana kejahatan dilakukan.
PASAL 535 Barang siapa
secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana untuk menggugurkan
kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun
secara terang-terangn atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk
sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan yang demikian itu, diancam dengan
kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah. Dari rumusan pasal-pasal tersebut diatas dapat ditarik
kesimpulan : 1. Seorang wanita hamil yang sengaja melakukan abortus atau
ia menyuruh orang lain, diancam hukuman empat tahun. 2. Seseorang yang sengaja
melakukan abortus terhadap ibu hamil, dengan tanpa persetujuan ibu hamil
tersebut diancam hukuman 12 tahun, dan jika ibu hamil itu mati diancam 15 tahun
3. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara
dan bila ibu hamil tersebut mati diancam hukuman 7 tahun penjara. 4. Jika yang
melakukan dan atau membantu melakukan abortus tersebut seorang dokter, bidan
atau juru obat (tenaga kesehatan) ancaman hukumannya ditambah sepertiganya dan
hak untuk praktek dapat dicabut. Meskipun dalam KUHP tidak terdapat satu pasal
pun yang memperbolehkan seorang dokter melakukan abortus atas indikasi medik,
sekalipun untuk menyelamatkan jiwa ibu, dalam prakteknya dokter yang
melakukannya tidak dihukum bila ia dapat mengemukakan alasan yang kuat dan
alasan tersebut diterima oleh hakim (Pasal 48).
Selain KUHP, abortus buatan
yang ilegal juga diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan:
PASAL 80 Barang siapa
dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2),
dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
Jadi, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, aborsi adalah
pengguguran kandungan. Pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan aborsi
berdasarkan Pasal 75 ayat (1) UU No. 36Tahun 2009 tentang Kesehatan ("UU
Kesehatan").
Pengecualian
terhadap larangan melakukan aborsi diberikan HANYA dalam 2 kondisi berikut:
a) indikasi kedaruratan
medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu
dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan,
maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di
luar kandungan; atau
b) kehamilan akibat
perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
(lihat
Pasal 75 ayat [2] UU Kesehatan)
Namun, tindakan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan itu pun
HANYA DAPAT dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra
tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh
konselor yang kompeten dan berwenang (lihat Pasal 75 ayat [3] UU Kesehatan).
Selain
itu, aborsi hanya dapat dilakukan:
a) sebelum kehamilan
berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam
hal kedaruratan medis;
b) oleh tenaga
kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat
yang ditetapkan oleh menteri;
c) dengan persetujuan
ibu hamil yang bersangkutan;
d) dengan izin suami,
kecuali korban perkosaan; dan
e) penyedia layanan
kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
(lihat
Pasal 76 UU Kesehatan)
Jadi, praktik aborsi yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan sebagaimana disebut di atas merupakan aborsi ilegal. Sanksi
pidana bagi pelaku aborsi ilegal diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang berbunyi;
"setiap
orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda
paling banyak Rp1 miliar."
Pasal 194 UU Kesehatan tersebut dapat menjerat pihak dokter
dan/atau tenaga kesehatan yang dengan sengaja melakukan aborsi ilegal, maupun
pihak perempuan yang dengan sengaja melakukannya.
Selain itu, sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal
juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
("KUHP").
Gan, hurufnya kok warnanya hitam? makasih, diubah dong biar enak dibacanya
BalasHapus