Tidak ada gunanya perbedaan agama dipermasalahkan, karena agama merupakan keyakinan tiap-tiap pribadi. Agama adalah jalinan hubungan personal antara manusia dengan Tuhannya.”
Kalimat itu terucap dari Ketua Yayasan Vihara Avalokitesvara, Dusun Candi, Desa Polagan, Kecamatan Galis, Pamekasan, Madura, Jawa Timur, Kosala Mahinda saat ditanya tentang perlunya menghormati keyakinan masing-masing individu dalam beragama.
Keyakinan bahwa agama merupakan jalinan personal antara manusia dan Tuhannya tidak hanya diujudkan dalam tataran konsep saja, namun termanifestasi dalam kehidupan di Vihara Avalokitesvara. Vihara Avalokitesvara, terletak sekitar 17 kilometer dari Kota Pamekasan, dibangun pada abad 17 atau sekitar tahun 1700 sebelum Masehi.
Menurut Kosala Mahinda, Vihara yang terletak di Dusun Candi, Desa Polagan, Kecamatan Galis di atas areal seluas tiga hektare itu dibangun sebelum Kerajaan Jambringin yang terletak di wilayah Kecamatan Proppo, Pamekasan, berdiri. Awalnya hanya tiga bangunan, namun lama kelamaan menjadi 15 bangunan. Selain tempat ibadah, di Vihara Avalokitesvara juga terdapat tempat peristirahatan dan ruang pentas kesenian.
Sepintas tempat ibadah umat Budha di Dusun Candi terkesan biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa, sama seperti tempat-tempat ibadah umat beragama lainnya yang ada di Pamekasan. Namun, dari lokasi yang biasa-biasa saja itulah, simbol dan benih-benih kerukunan umat beragama tertanam. Di vihara itu juga terdapat tempat ibadah umat beragama lain, seperti tempat umat beribadah untuk umat Hindu berupa Pura dan tempat ibadah untuk umat Islam, berupa musala.
Asal Mula
Menurut Ketua Yayasan Vihara Avalokitesvara, Kosala Mahinda, dari dua tempat ibadah yang ada di lokasi Vihara itu, tempat ibadah umat Islam dibangun lebih dahulu dibanding tempat ibadah untuk umat Hindu.
“Soalnya tradisi rumah adat di Madura dulu itu kan setiap rumah, pasti ada tempat di halaman rumahnya yang bernama ‘langgar’,” katanya. Langgar, kata Kosala, awalnya merupakan tempat para keluarga beristirahat di siang hari seusai kerja di ladang atau tempat menerima tamu laki-laki. Biasanya terbuat dari kayu, dan bangunan berbentuk seperti rumah panggung, namun berbentuk bale-bale.
Oleh umat Islam di Madura, langgar biasanya dijadikan tempat ibadah, seperti menunaikan shalat lima waktu, atau melaksanakan shalat Id pada hari raya, baik pada Hari Raya Idul Fitri, maupun pada para Hari Raya Idul Adha.
“Jadi meskipun kami beragama Budha, namun keluarga kami dulunya juga memiliki langgar itu,” katanya. Seiring dengan perkembangan zaman dan pergeseran budaya, serta tingkat kemampuan ekonomi masyarakat Madura yang kian membaik, langgar akhirnya menjadi kurang populer.
Mereka yang memiliki uang cukup mengubah ‘langgar’ dari yang awalnya hanya terbuat dari kayu menjadi gedung sehingga disebut dengan musala. Demikian juga halnya dengan ‘langgar’ yang ada di lingkungan Vihara Avalokisvara.
Dibanding dengan tempat ibadah umat Budha, musala yang ada ada di lingkungan Vihara Avalokisvara ini memang tidak terlalu besar. Ukurannya hanya 4x4 meter.
Namun sebagaimana Vihara, perlengkapan ibadah di musala ini juga tersedia. Seperti tempat berwudu, sajadah dan tasbih untuk mereka yang ingin berdzikir seusai melaksanakan shalat.
Jarak antara musala) dengan tempat ibadah umat Budha (Vihara) hanya sekitar 10 meter yang terbatas oleh dinding. Jarak terdekat dari Vihara, adalah tempat ibadah umah Hindu. Ukurannya lebih kecil dari musala, yakni hanya 3x3 meter.
Di Pamekasan, sebenarnya jumlah penganut Hindu ini tidak terlalu banyak sebagaimana Islam dan Kristen, bahkan termasuk paling sedikit dibanding penganut agama lain.
Kantor Kementerian Agama setempat mencatat, penganut Hindu di Pamekasan hanya 18 orang, sedangkan penganut Budha mencapai sekitar 90 orang dari total jumlah penganut agama sebanyak 726.908 orang.
“Kebanyakan mereka merupakan pendatang. Orang Bali yang bertugas di Pamekasan ini,” kata Kosala Mahinda menjelaskan. Pembangunan Pura sendiri, kata Kosala, sebenarnya atas prakarsa Kapolwil Madura yang berasal dari Bali dan menganut Agama Hindu. “Jadi dia itu bertugas di Pamekasan menjadi Kapolwil dan menganut agama Hindu. Dia itu yang menyarankan kami membangun Pura di sini,” katanya.
Simbol Kerukunan
Kasi Seni Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisi, Dinas Pemuda, Olah Raga dan Kebudayaan (Disporabud) Pamekasan, Halifaturrahman menyatakan, keberadaan tempat ibadah umat agama yang berbeda dalam satu lingkungan, sebagai di Vihara Avalokitesvara ini, sebenarnya merupakan simbol nilai-nilai kerukunan umat beragama di Pamekasan.
“Bangunan tempat ibadah di Vihara itu bukan museum, namun fakta yang terjadi di Pamekasan ini. Artinya kerukunan umat beragama bukan hanya sekedar wacana, tetapi sudah termanifestasi dalam kehidupan nyata sehari-hari,” katanya.
Dari sebanyak 15 orang pekerja di Yayasan Vihara Avalokitesvara yang semuanya beragama Islam, tak satupun diantara mereka yang mengaku ‘risih’ tinggal di lingkungan Vihara, meski dengan keyakinan yang berbeda. Seperti yang diakui Samud.
Pria berumur 40 tahun asal Desa Sokalelah, Kecamatan Kadur yang sudah bekerja sekitar 10 tahun lebih di Vihara sebagai tukang kebun ini mengaku, dirinya merasa nyaman dengan kehidupan di sana. Bahkan ia mengaku bebas beribadah sesuai dengan keyakinan yang ia anut. “Saya merasa hidup nyaman di sini. Saya bebas untuk beribadah sesuai dengan keyakinan saya, walaupun semua keluarga majikan saya merupakan tokoh agama Budha,” katanya.
Rekor Muri
Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) mencatat, Vihara Avalokistesvara sebagai kelenteng terunik, karena di dalamnya terdapat bangunan pura dan musala, dua tempat ibadah umat beragama yang berbeda yang penganutnya hidup rukun dan berdampingan.
Penghargaan diserahkan oleh Senior Manager Muri, Paulus Pangka, bersamaan dengan dua penghargaan Muri lainnya, yakni pementasan wayang kulit 10 negara dan pementasan tari Liang-Liong yang penarinya ditampilkan oleh ibu-ibu berumur di atas 60 tahun.
“Kita patut acungi jempol, bahwa kerukunan umat beragama masih terpelihara di negeri ini di tengah persoalan-persoalan keagamaan seperti terorisme dan pertengkaran antar umat beragama yang sering terjadi di berbagai wilayah Tanah Air,” kata Paulus Pangka ketika itu.
Bahkan Paulus sempat menyarankan, agar bukan hanya musala dan Pura nantinya yang dibangun di Vihara itu, namun juga Gereja, sehingga diharapkan dari Pulau Garam Madura inilah semangat kerukunan umat beragama menyebar ke seluruh penjuru Tanah Air.
Kalimat itu terucap dari Ketua Yayasan Vihara Avalokitesvara, Dusun Candi, Desa Polagan, Kecamatan Galis, Pamekasan, Madura, Jawa Timur, Kosala Mahinda saat ditanya tentang perlunya menghormati keyakinan masing-masing individu dalam beragama.
Keyakinan bahwa agama merupakan jalinan personal antara manusia dan Tuhannya tidak hanya diujudkan dalam tataran konsep saja, namun termanifestasi dalam kehidupan di Vihara Avalokitesvara. Vihara Avalokitesvara, terletak sekitar 17 kilometer dari Kota Pamekasan, dibangun pada abad 17 atau sekitar tahun 1700 sebelum Masehi.
Menurut Kosala Mahinda, Vihara yang terletak di Dusun Candi, Desa Polagan, Kecamatan Galis di atas areal seluas tiga hektare itu dibangun sebelum Kerajaan Jambringin yang terletak di wilayah Kecamatan Proppo, Pamekasan, berdiri. Awalnya hanya tiga bangunan, namun lama kelamaan menjadi 15 bangunan. Selain tempat ibadah, di Vihara Avalokitesvara juga terdapat tempat peristirahatan dan ruang pentas kesenian.
Sepintas tempat ibadah umat Budha di Dusun Candi terkesan biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa, sama seperti tempat-tempat ibadah umat beragama lainnya yang ada di Pamekasan. Namun, dari lokasi yang biasa-biasa saja itulah, simbol dan benih-benih kerukunan umat beragama tertanam. Di vihara itu juga terdapat tempat ibadah umat beragama lain, seperti tempat umat beribadah untuk umat Hindu berupa Pura dan tempat ibadah untuk umat Islam, berupa musala.
Asal Mula
Menurut Ketua Yayasan Vihara Avalokitesvara, Kosala Mahinda, dari dua tempat ibadah yang ada di lokasi Vihara itu, tempat ibadah umat Islam dibangun lebih dahulu dibanding tempat ibadah untuk umat Hindu.
“Soalnya tradisi rumah adat di Madura dulu itu kan setiap rumah, pasti ada tempat di halaman rumahnya yang bernama ‘langgar’,” katanya. Langgar, kata Kosala, awalnya merupakan tempat para keluarga beristirahat di siang hari seusai kerja di ladang atau tempat menerima tamu laki-laki. Biasanya terbuat dari kayu, dan bangunan berbentuk seperti rumah panggung, namun berbentuk bale-bale.
Oleh umat Islam di Madura, langgar biasanya dijadikan tempat ibadah, seperti menunaikan shalat lima waktu, atau melaksanakan shalat Id pada hari raya, baik pada Hari Raya Idul Fitri, maupun pada para Hari Raya Idul Adha.
“Jadi meskipun kami beragama Budha, namun keluarga kami dulunya juga memiliki langgar itu,” katanya. Seiring dengan perkembangan zaman dan pergeseran budaya, serta tingkat kemampuan ekonomi masyarakat Madura yang kian membaik, langgar akhirnya menjadi kurang populer.
Mereka yang memiliki uang cukup mengubah ‘langgar’ dari yang awalnya hanya terbuat dari kayu menjadi gedung sehingga disebut dengan musala. Demikian juga halnya dengan ‘langgar’ yang ada di lingkungan Vihara Avalokisvara.
Dibanding dengan tempat ibadah umat Budha, musala yang ada ada di lingkungan Vihara Avalokisvara ini memang tidak terlalu besar. Ukurannya hanya 4x4 meter.
Namun sebagaimana Vihara, perlengkapan ibadah di musala ini juga tersedia. Seperti tempat berwudu, sajadah dan tasbih untuk mereka yang ingin berdzikir seusai melaksanakan shalat.
Jarak antara musala) dengan tempat ibadah umat Budha (Vihara) hanya sekitar 10 meter yang terbatas oleh dinding. Jarak terdekat dari Vihara, adalah tempat ibadah umah Hindu. Ukurannya lebih kecil dari musala, yakni hanya 3x3 meter.
Di Pamekasan, sebenarnya jumlah penganut Hindu ini tidak terlalu banyak sebagaimana Islam dan Kristen, bahkan termasuk paling sedikit dibanding penganut agama lain.
Kantor Kementerian Agama setempat mencatat, penganut Hindu di Pamekasan hanya 18 orang, sedangkan penganut Budha mencapai sekitar 90 orang dari total jumlah penganut agama sebanyak 726.908 orang.
“Kebanyakan mereka merupakan pendatang. Orang Bali yang bertugas di Pamekasan ini,” kata Kosala Mahinda menjelaskan. Pembangunan Pura sendiri, kata Kosala, sebenarnya atas prakarsa Kapolwil Madura yang berasal dari Bali dan menganut Agama Hindu. “Jadi dia itu bertugas di Pamekasan menjadi Kapolwil dan menganut agama Hindu. Dia itu yang menyarankan kami membangun Pura di sini,” katanya.
Simbol Kerukunan
Kasi Seni Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisi, Dinas Pemuda, Olah Raga dan Kebudayaan (Disporabud) Pamekasan, Halifaturrahman menyatakan, keberadaan tempat ibadah umat agama yang berbeda dalam satu lingkungan, sebagai di Vihara Avalokitesvara ini, sebenarnya merupakan simbol nilai-nilai kerukunan umat beragama di Pamekasan.
“Bangunan tempat ibadah di Vihara itu bukan museum, namun fakta yang terjadi di Pamekasan ini. Artinya kerukunan umat beragama bukan hanya sekedar wacana, tetapi sudah termanifestasi dalam kehidupan nyata sehari-hari,” katanya.
Dari sebanyak 15 orang pekerja di Yayasan Vihara Avalokitesvara yang semuanya beragama Islam, tak satupun diantara mereka yang mengaku ‘risih’ tinggal di lingkungan Vihara, meski dengan keyakinan yang berbeda. Seperti yang diakui Samud.
Pria berumur 40 tahun asal Desa Sokalelah, Kecamatan Kadur yang sudah bekerja sekitar 10 tahun lebih di Vihara sebagai tukang kebun ini mengaku, dirinya merasa nyaman dengan kehidupan di sana. Bahkan ia mengaku bebas beribadah sesuai dengan keyakinan yang ia anut. “Saya merasa hidup nyaman di sini. Saya bebas untuk beribadah sesuai dengan keyakinan saya, walaupun semua keluarga majikan saya merupakan tokoh agama Budha,” katanya.
Rekor Muri
Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) mencatat, Vihara Avalokistesvara sebagai kelenteng terunik, karena di dalamnya terdapat bangunan pura dan musala, dua tempat ibadah umat beragama yang berbeda yang penganutnya hidup rukun dan berdampingan.
Penghargaan diserahkan oleh Senior Manager Muri, Paulus Pangka, bersamaan dengan dua penghargaan Muri lainnya, yakni pementasan wayang kulit 10 negara dan pementasan tari Liang-Liong yang penarinya ditampilkan oleh ibu-ibu berumur di atas 60 tahun.
“Kita patut acungi jempol, bahwa kerukunan umat beragama masih terpelihara di negeri ini di tengah persoalan-persoalan keagamaan seperti terorisme dan pertengkaran antar umat beragama yang sering terjadi di berbagai wilayah Tanah Air,” kata Paulus Pangka ketika itu.
Bahkan Paulus sempat menyarankan, agar bukan hanya musala dan Pura nantinya yang dibangun di Vihara itu, namun juga Gereja, sehingga diharapkan dari Pulau Garam Madura inilah semangat kerukunan umat beragama menyebar ke seluruh penjuru Tanah Air.
Komentar
Posting Komentar